Karya Lama Seorang Seniman

miki-nachos
4 min readNov 21, 2020

--

Gue penggemar berat karya Raditya Dika. Gue baca bukunya, nonton filmnya, stand up comedy nya, unggahan youtubenya, cerita pendek mediumnya.

Observasi gue tentang perjalanan karyanya, bermula dari pengalaman nonton Single. Sebelumnya gue nikmatin aja (walaupun nggak suka-suka banget) format filmnya.

Kayaknya banyak juga yang ngerasa kalo karya Raditya Dika seakan muter di situ-situ aja. Bahkan masih kerasa di Single 2, film terakhirnya sebelum hiatus. Formula yang sama soal cowok ngejar cewek, pedekate, dan ngalamin fase patah hati.

Sementara menurut pengakuannya, Radit selalu ingin tumbuh bersama penikmat karyanya. Seperti Kambing Jantan dari awal di Kuliah, Cinta Dalam Kardus, cara melupakan mantan, Marmut Merah Jambu cara ngungkapin perasaan ke cinta pertama, Manusia Setengah Salmon soal berpindah dan beradaptasi.

Gue personally, nggak begitu menikmati Single dan sekuelnya. Menurut gue itu hanya format lama yang dirombak ulang dengan kualitas baru. Meskipun dalam adaptasi filmnya, semua formula terkesan begitu repetitif — gue pribadi masih menikmati buku-bukunya. Gue bisa baca semuanya berulang kali dan nggak bosen. Penyampaian pesan dari bukunya terasa lebih personal, gokil, dan rapih. Tapi balik lagi ke personal experience orang-orang aja. Gue lebih suka baca bukunya ketimbang nonton filmnya.

Sampai pada waktu Hangout dan Target keluar. Menurut gue idenya udah oke, cuma eksekusinya masih kurang authentic. Kurang ‘Radit’ banget. Waw siapa gue, berani bahas soal otentisitas?

Terkait ini, gue mau mengutip komentar Ernest Prakasa dan Pandji Pragiwaksono soal karya Radit,

“Kalo aja Radit ngeluarin ide psikonya, pasti lebih gila lagi.”

Gue pikir juga begitu. Ada kurang garem dikit lah di Hangout. Sedikit peningkatan di Target. Lumayan membuka jalan bagi perpaduan genre thriller dan comedy baru di Indonesia.

Pergantian genre komedi ke thriller comedy ini munculin banyak komentar dan pro/cons yang nggak jauh-jauh dari, ‘Gue kangen karya Radit yang lama, kok beda ya sekarang’ dan lainnya.

Keitungnya, macem serba salah ya. Format yang lama dibilang gitu-gitu aja, giliran keluar sama formula yang baru dibilang ‘terlalu bukan radit’. Walaupun, komentar gue soal karya Radit yang beda ini, bukan ke ‘nggak boleh beda’ nya sih. Tapi ke ‘beda yang nanggung’. Beda tapi masih ngikutin market. Beda tapi masih main aman.

Di sesi PORD (Podcast Raditya Dika) bareng raisa, membahas soal pergantian karya, Radit nanya,

(cr: raditya dika youtube)

“Dalam berkarya pasti selalu ada yang ngga suka sama karya baru lo. Itu gimana nyikapinnya? Kayak dibilang ‘kok beda ya, bukan lo banget?’ gitu”

Lagu-lagu Raisa, yang dulu kan lebih galau, patah hati, move on, dll. Semenjak dia menikah, lagunya lebih fresh dengan single ‘You!’ sementara orang masih minta doi nyiptain macem Terjebak Nostalgia lagi.

“Kayaknya gue mendingan dibilang gitu sih, daripada dibilang ‘Ah Raisa gitu-gitu aja’ pasti gue sakit hati sih. Maksudnya, kalo dibilang ‘bukan gue’ ya itu normal. Itu yang gue rasain sama penyanyi favorit gue juga. Misalkan lo lebih suka yang lama ya tinggal denger yang lama lagi, biar rate nya tinggi lagi haha.”

Jawaban yang sangat menarik, asli.

Ini juga yang sering banget gue liat di komentar perubahan Taylor Swift, berikut dengan perspektif dia, yang nggak pernah mau buat sesuatu yang lama, yang sebelumnya pernah dia bikin. Album debutnya dari Taylor swift, ke Red, ke 1989, nggak ada yang terdengar sama. Semuanya ngalamin transisi pelan-pelan. Danitu jenius banget. Bahkan setelah Reputation nggak masuk nominasi Grammy, dia kambek dengan Lover dan sekarang Folklore.

Kalo dipikir, ya iya juga sih. Kalo kangen karya yang lama, ya tinggal dengerin yang lama. Masih ada, noh, di semua jenis platfoarm.

Yang tau perubahan individu sampe ke akarnya kan, ya cuma diri kita sendiri. Sejauh mana kita suka, sejauh mana kita ngga lagi suka, sejauh mana kita tertantang, sejauh mana yang mau kita coba lagi, dan lainnya.

Kalo terus melimitasi diri cuma karena pengin orang lain suka, ya diri kita gak akan berkembang. Ibaratnya, if you like the yesterday me, ya kepoin aja gue yang lama. sekarang gue udah move on dan mau nge explore diri gue untuk hal yang baru. Dan itu akan terus terjadi, mau lo suka atau nggak.

Hal yang paling jadi emotional attached gue kalo soal lagu, balik lagi ke jaman Old Disney — Miley Cyrus, Jonas Brothers (even Jobros balikan pun gue ga gitu suka album Happiness begins). Berikut 2 album terakhir 5sos, juga 2 album terakhir One Ok Rock. Ataupun album terbaru Justin Bieber, Changes.

Gue selalu berandai, ‘duh buat yang kek lama lagi dong!’ padahal ya, life goes on, cuy. Momentum datang dan pergi. Manusia berevolusi. Inspirasi silih berganti. Apalagi bagi seniman dan pembuat karya. Kacamata mereka soal gimana bikin karya yang berbeda dari sebelumnya.

So, yap. Karya lama seniman bisa kalian stream ulang lagi kalo kangen. Tapi jangan lupa kalau senimannya sendiri bakal selalu berevolusi dengan karya-karyanya.

--

--