Kurikulum di Indonesia: Apa yang Perlu Dibenahi?

miki-nachos
6 min readNov 14, 2020

--

Kemarin linimasa Twitter memperdebatkan hal yang sama dan kian berulang. Hubungan 3K: kuliah, kerja, dan koneksi. Walaupun udah upgrade pembahasan sedikit, tentang ‘apakah pengalaman organisasi ngaruh ke dunia kerja atau nggak?’ tetap aja topik ini bikin gue gerah dengan jawaban template yang ada. Masih belum ada kepuasan dalam diri tentang kenapa pengangguran masih tinggi banget — khususnya di negeri ini.

Dalam kasus ini, gue mau kilas balik, ngomongin soal edukasi. Narasi bahwa ‘edukasi di Indonesia terlalu teksbook blablabla’ itu bener. Tapi yang paling besar adalah, edukasi di negeri ini yang nggak merata. Gap yang sangat jomplang menandakan Indonesia belum sepenuhnya siap dengan revolusi dunia yang kian berputar tiap saat.

Fakta bahwa sebagian dari sekolah dan kampus di Indonesia sudah dicap bagus dan berintegrasi, menurut banyak penilaian, menunjukkan Indonesia pada dasarnya sudah faham betul mana pendidikan yang bagus dan yang perlu dibenahi. Tapi kenyataannya, ketika yang ‘kurang bagus’ ini masih terus stagnan, lantas mengapa kita mengharapkan perubahan?

‘Perubahan’ yang dimaksud adalah, banyak dari kita ingin negeri ini juga ikut maju dalam segala bidang. Menjadi nomor 1 jika dibandingkan dengan negara lain. Sayangnya nggak semua orang bertemu dan memperoleh kesempatan yang sama.

Pada umumnya, dalam hal mencari kerja semua berurusan dengan gelar sarjana, pengalaman dan kompetensi keahlian. Tentunya dalam era yang sudah memiliki layer pekerjaan yang beragam, tidak semua dari mereka diharuskan menempuh pendidikan tinggi untuk mencapai impian. Tidak juga harus memiliki segudang pengalaman formal untuk bisa memulai bisnis ataupun karya (mengingat banyak platform yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan hal tersebut).

Namun, jika berbicara tentang keahlian, kira-kira dari mana bagian ini mulai dikembangkan?

Tentu nggak semua dari kita memiliki bakat natural seperti Elizabeth Harmon ataupun Beyonce yang memiliki ‘It Factor’. Kebanyakan dari kita, harus menggali potensi dan menyicipi banyak bidang untuk dapat mengetahui apa yang kita suka dan akhirnya bisa jadiin itu sebagai pilihan karir yang menguntungkan. Banyak profesi yang butuh pemahaman kurikulum dan

Pendidikan dasar 9 tahun perannya sebagai familiarity. Kebanyakan dari kita ngelupain core penting ini dan ngelaluin masa sekolah dengan gamblang: tiba-tiba lulus. Tentu, ikut banyak ekskul, membangun hubungan sosial, yada yada yada. Tapi porsi untuk mengembangkan potensinya, di mana?

Pendidikan luar pun bukan tanpa masalahnya sendiri. Banyak dari mereka memilih untuk keluar dari institusi dan mengembangkan diri diluar pendidikan formal. Karena kebanyakan ilmu yang dibutuhkan untuk survived di dunia kerja pun nggak begitu di highlight dalam kurikulum yang ada.

Gue nggak bilang bahwa faktor ini sepenuhnya mempengaruhi keahlian dan kinerja masyarakat Indonesia dalam dunia kerja, tapi jika ditinjau secara garis besar dari fenomena yang ada dan bingung kenapa keahlian mayoritas masyarakat ini nggak begitu terekspansi, maka faktor berikut bisa jadi salah satu gambaran.

Kebanyakan dari ini, bakal gue tekankan dari kurikulum. Karena bukan nggak mungkin jika mereka udah mempelajari kurikulum yang pas, mereka bisa berkembang.

Kurikulum yang kian berganti dengan problem yang sama

Mata pelajaran dan kuliah yang harus diringkas, Kurikulum yang dibenahi sampe akarnya.

Gue masuk SMK jurusan Marketing untuk menghindari materi SMA yang gue kira sangat general. Sayangnya, materi SMK gue pun cuma ibarat 2 dibelah jadi 9. Ada analisa segmen, strategi marketing, perencanaan pemasaran (yang juga bisa masuk di strategi marketing), pemasaran online (yang juga masuk ke analisa segmen). Semua materi kepecah dengan gak efesien jadi 16 pelajaran (digabung sama pelajaran umum macem agama, b.indo dll). Tiap subtopik juga dibahas sangat umum dan begitu berulang. Dunia marketing yang padahal terus muter tiap tahunnya, di pembelajaran kasus cuma belajar apa yang Pak Budi beli di PT. Maju Mundur. Alias, super ‘outdated’ banget.

Peningkatan kompetensi skill di SMK juga nggak sebagus yang dinarasikan orang-orang mengenai slogan ‘SMK Siap Kerja!”

Sebagian SMK nggak punya equipment memadai untuk upgrade pembelajaran, sebagian lagi emang bahkan ‘gak mau’ upgrade equipment nya, entah untuk alasan apa. Materi dan praktik kompetensi yang diujiankan tiap menjelang kelulusan pun terkesan repetitif. Selain dari anak-anak yang sudah dapat bocoran dari alumni atau kakak kelas, juga nggak ada materi tambahan dari tiap tahun, karena kesamaan format tersebut.

Kurikulum dan sistem yang kian berganti nama, pun nggak menyelesaikan problem yang dihadapi. In fact, kadang hanya menambah kebingungan bagi beberapa institusi dan murid tentang bagaimana metode mengaplikasikannya. Kurikulum 2013 yang diharapkan bisa menyatukan aspek kognitif serta afektif murid pun, juga nggak sepenuhnya berdampak signifikan.

Jurusan yang lebih spesifik

Anehnya dengan kurikulum yang dibelah belah jadi gak efesien itu, penjurusannya malah general banget. Komunikasi. Gimana kalo orang cuma mau belajar Jurnalis atau Public Relation aja? Atau Marketing Komunikasi?

‘Iya itu tergabung dalam Komunikasi itu sendiri. Nanti kan penjurusan di semester 3.’

Sebagai manusia yang nggak sabaran (mungkin bagi yang penyabar bagi kalian, ini nggak masalah) gue males menunggu satu tahun untuk bisa ke pembelajaran inti, ketika gue udah mengonsumsi setengah dari materi itu di internet.

Semester pertama ada B. Indo, Agama, PKN maupun Olahraga. Materi bawaan SMA.

‘Tapi kita butuh belajar itu, demi — ”

Yes. nggak memungkiri pelajaran tersebut dapat memberikan ilmu. Tapi apakah kita membayar biaya sks selama semester pertama untuk mengulang materi SMA dibanding langsung ke inti kurikulum yang bisa mempersingkat masa pembelajaran?

Tentunya ini nggak menjadi masalah bagi banyak pihak. Namun bagi gue pribadi, that could be a problem.

Dan ini pun nggak terjadi di semua kampus. Ada juga yang menawarkan solusi alternatif dengan jurusan yang beragam. Tapi balik lagi, memang kualitasnya yang belum merata.

Klub dan kompetisi yang harusnya bisa lebih serius

Khususnya di daerah. Pendidikan daerah yang cenderung mengikuti format terdahulu dengan dalih, “dulu kan nggak begini” atau “ngikutin aja dari sananya” benar-benar membuat masyarakat daerah nggak terbuka tentang gambaran dunia luar, bagaimana masyarakat berkembang, demand apa yang harus dipenuhi dan supply apa yang harus disiapkan.

Kalau bicara tentang klub dan kompetensi, pengalaman saya hanya terfokus pada ‘Organisasi wajib sekolah’. Fokus beberapa sekolah sangat tertuju tentang nama baik sekolah tentang organisasi tingkat kecamatan, provinsi, daerah, lainnya.

Senioritas dan pelantikan yang melekat banget di Osis ataupun Organisasi lainnya, membuat Klub semacam Klub Bahasa Inggris, Mading, ataupun ekstrakulikuler lainnya jadi overshadowed. Apresiasi murid yang tertarik dan ahli dalam bidang tertentu, kurang terekspos. Apa karena kompetisi tesebut, cenderung hanya melibatkan individu dan bukan membawa nama sekolah?

Kapabilitas tenaga pengajar

Aspek satu ini sangat mempengaruhi kurikulum dalam hal komunikasi. Bagaimana pengajar menyampaikan materi dan membiarkan murid mencerna dengan cara mereka sendiri. Banyak konteks yang disampaikan dalam format yang begitu monoton dan delivery yang terkesan mendikte bahkan memaksa.

Jika murid hanya bisa memproses penyelesaian kasus dari sudut pandang pengajar, bagaimana mereka bisa menganalisa kasus yang akan dihadapi di luar institusi?

Alternatif program pendidikan.

  1. Tersedia one year program untuk kuliah (ketentuan bisa lulus lebih cepet).
  2. Program Diploma disambung di SMA (dalam waktu 4 tahun) dibanding harus menambah 3 tahun dengan title diploma. Ataupun short program setahun, dan dua tahun. Mengenai hal ini, Pak Nadiem sebelumnya juga sudah mencanangkan program semester perkuliahan yang hanya 5 semester dalam program Kampus Merdeka.
  3. Memperbanyak lembaga ataupun universitas yang menyediakan program online degree certificate.

Karena nggak semua orang tertarik lanjutin pendidikan formal selama 4 tahun penuh.

‘Ya, itu kan emang ketentuannya.’

Betul. Bagi beberapa jurusan seperti Hukum, Kedokteran, yang menuntut proses pembelajaran menyeluruh dengan jangka waktu yang lama, ini betul banget.

Tapi untuk Komunikasi, Bisnis, Marketing, I believe that there’s an alternative out there, to make education more ‘fun’ ‘short’ and still ‘enjoyable’.

Tersedia counselar yang memberikan informasi selengkap-lengkapnya, tanpa harus mengoper ke banyak pihak.

Adanya advisor yang bantuin konseling soal jurusan yang dituju di sekolah.

Koneksi bisa membuat banyak orang melambung jauh dan mempermudah situasi. Tapi semua balik ke kompetensi keahlian. Apa yang kita konsumsi sehari-hari, apa yang kita pelajari, asah dan latih, bisa sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri. Keahlian yang nantinya bisa dipromosikan ke orang banyak, kemudian mendapatkan koneksi.

Ya, memang sekolah dan kuliah lebih kepada pengalaman. Dalam jurusan tertentu, hanya melibatkan sekian persen pembelajaran yang terpakai. Selebihnya, bisa kita dapatkan di dunia luar melaui banyak media informasi, tambahan pengalaman magang dan lainnya. Terlebih pada jurusan yang tidak sesuai dengan pekerjaan. Membantu membentuk pola pikir, habit, dan lain-lain. Namun, jika bisa dipadatkan dalam kurikulum yang ada, mengapa tidak?

Jika banyak orang memasuki suatu jurusan dan institusi itu memberi apa yang ingin murid komsumsi dan dapatkan, apakah tidak lebih efektif?

Karena tidak semua bagi mereka mempunyai waktu, biaya dan kesempatan yang sama — Bahkan tidak semua memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang lebih tinggi atas sistem yang sudah terbentuk.

--

--